Pernikahan merupakan acara sakral dalam menyatukan dua insan
manusia yang berbeda. Tiga bulan sebelum hari H (5 April 2015), kami sudah
mulai menyiapkan segala sesuatu untuk acara pernikahan, mulai dari baju
pengantin, dekorasi, catering, dan lain-lain.Semua persiapan sebagian besar
dilakukan oleh ayahanda. Saya hanya mengurus bagian undangan, souvenir, dan
tata rias pengantin sehingga saya tidak menggunakan Wedding Organizer (WO).
Satu bulan menjelang pernikahan terlihat betul orangtua sibuk menyusun dan
mematangkan acara pernikahan kami.
Lima hari menjelang pernikahan, dapur sudah mulai mengebul
(hehee...). Ayah dan ibu terlihat sangat super sibuk. Sungguh, saya sangat
berterima kasih dan sangat bersyukur karena orangtua telah banyak mengorbankan
waktu, tenaga, dan biaya untuk menikahkan putrinya yang kedua ini. Karena itu,
saya tidak ingin mengecewakan orangtua di hari bahagia nanti meskipun ada
beberapa hal yang membuat saya sedih. Mungkin wajar bila perasaan saya menjadi
campur aduk seperti gado-gado menjelang pernikahan. Bahagia karena orangtua
memilih dengan tepat seorang pria untuk menjaga saya. Sedih karena saya tidak
akan selalu bisa melihat keadaan orangtua. Sedih karena masih banyak yang belum
bisa saya berikan untuk orangtua dan membuatnya bangga.
Menjelang pernikahan, ayah seringkali mengatakan “Wah,
anakku sudah mau jadi manten tapi nantinya mau dibawa jauh” (terlihat wajah
sedihnya). Ya, calon suami saya bekerja
di Batam, pulau kecil yang berdekatan dengan Singapura. Mau tidak mau, nantinya
saya akan menemani suami di Batam dan intensitas bertemu orangtua menjadi
sangat kecil. Saya anak perempuan kedua
yang nantinya diharapkan akan menemani orangtua di rumah sehingga ayah dan mama
sedih ketika putrinya akan dibawa jauh. Biasanya, orangtua sudah memilih
anaknya untuk tetap tinggal bersama agar bisa merawat orangtua ketika pensiun.
Dan, saya menjadi harapan mereka.
H-1 terlihat ayah dan ibu sangat lelah menyambut kedatangan
para tamu sehingga malam itu kami tidur lebih awal untuk mempersiapkan acara
esok hari. Akad nikah dijadwalkan jam 08.00 bertempat di rumah ayah. Jam 07.45
penghulu sudah tiba di rumah. Calon mempelai perempuan dan calon mempelai
laki-laki dipertemukan serta ayahanda dan saksi-saksi. Saya duduk di samping
ayah dan calon mempelai laki-laki duduk berhadapan dengan ayah. Selama penghulu
memberikan sedikit ceramah, saya melihat raut muka ayah tampak tenang. Saya
tenang karena sepertinya ayah dan calon suami saya sudah siap mengucapkan Ijab
Qobul.
Ayah mulai menjabat tangan calon suami saya dan siap untuk
mengucapkan ijab. Jantung saya berdetak sangat kencang dan tidak beraturan saat
ayah dan calon suami saya mengucapkan ijab qobul. Ucapan pertama ijab qobul
selesai, namun belum sah karena ayah lupa tidak menyebut nama saya. Lalu ayah
mencoba tenang dan mengucapkan ijab untuk kedua kalinya. Daaaaan, penghulu
masih meminta ayah untuk mengulanginya. Masih dengan kesalahan yang sama yaitu
ayah tidak mengucapkan nama saya. Seakan-akan saya merasa ayah seperti belum
bisa ikhlas melepas putrinya ini. Selama dua kali pengulangan ini, calon suami saya
ternyata lebih siap dan tidak mengulangi kesalahan pengucapan. Lalu, ayah
mengucapkan ijab untuk ketiga kalinya. Dan Alhamdulillah akhirnya SAH.
Saat sudah diputuskan sah, saya bertanya kepada ayah mengapa
sampai bisa salah dan jawabannya hanya satu kalimat yaitu “sedih mau kehilangan
kamu”. Begitu kata ayah saya dan saat itu saya menahan air mata agar tidak
membasahi pipi yang sudah di make up. Yaaa, saya bahagia dan sedih saat itu.
Selama pernikahan juga terlihat raut wajah ayah agak sedih. Tak sampai di situ,
malamnya ternyata tante saya menanyakan kepada ayah kenapa bisa sampai
mengulang. Tante berkata bahwa ayah
benar-benar sangat sedih kehilangan saya dan belum bisa ikhlas sepenuhnya untuk melepas
putri tersayang untuk dibawa jauh dari beliau. Karena saya adalah anak yang
diharapkan mampu menjaga dan merawat orangtua di hari tua beliau nanti.
Namun, bagaimana pun putrimu ini akan tetap menjadi anakmu..
Dan ayah tetap memilik tempat tersendiri di hati ini. Putrimu tidak akan lupa bagaimana
perjuanganmu dalam mencari nafkah untuk keluarga. Sampai kapan pun, putrimu ini
tetap sayang dan cinta ayah dan mama. Semoga kami bisa menjadi orangtua seperti
beliau.
Salam sayang dan rindu dari putrimu di pulau seberang...