24 Mei 2015

Kesedihan Ayahanda Saat Ijab Qabul


Pernikahan merupakan acara sakral dalam menyatukan dua insan manusia yang berbeda. Tiga bulan sebelum hari H (5 April 2015), kami sudah mulai menyiapkan segala sesuatu untuk acara pernikahan, mulai dari baju pengantin, dekorasi, catering, dan lain-lain.Semua persiapan sebagian besar dilakukan oleh ayahanda. Saya hanya mengurus bagian undangan, souvenir, dan tata rias pengantin sehingga saya tidak menggunakan Wedding Organizer (WO). Satu bulan menjelang pernikahan terlihat betul orangtua sibuk menyusun dan mematangkan acara pernikahan kami.

Lima hari menjelang pernikahan, dapur sudah mulai mengebul (hehee...). Ayah dan ibu terlihat sangat super sibuk. Sungguh, saya sangat berterima kasih dan sangat bersyukur karena orangtua telah banyak mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk menikahkan putrinya yang kedua ini. Karena itu, saya tidak ingin mengecewakan orangtua di hari bahagia nanti meskipun ada beberapa hal yang membuat saya sedih. Mungkin wajar bila perasaan saya menjadi campur aduk seperti gado-gado menjelang pernikahan. Bahagia karena orangtua memilih dengan tepat seorang pria untuk menjaga saya. Sedih karena saya tidak akan selalu bisa melihat keadaan orangtua. Sedih karena masih banyak yang belum bisa saya berikan untuk orangtua dan membuatnya bangga.

Menjelang pernikahan, ayah seringkali mengatakan “Wah, anakku sudah mau jadi manten tapi nantinya mau dibawa jauh” (terlihat wajah sedihnya).  Ya, calon suami saya bekerja di Batam, pulau kecil yang berdekatan dengan Singapura. Mau tidak mau, nantinya saya akan menemani suami di Batam dan intensitas bertemu orangtua menjadi sangat kecil.  Saya anak perempuan kedua yang nantinya diharapkan akan menemani orangtua di rumah sehingga ayah dan mama sedih ketika putrinya akan dibawa jauh. Biasanya, orangtua sudah memilih anaknya untuk tetap tinggal bersama agar bisa merawat orangtua ketika pensiun. Dan, saya menjadi harapan mereka.

H-1 terlihat ayah dan ibu sangat lelah menyambut kedatangan para tamu sehingga malam itu kami tidur lebih awal untuk mempersiapkan acara esok hari. Akad nikah dijadwalkan jam 08.00 bertempat di rumah ayah. Jam 07.45 penghulu sudah tiba di rumah. Calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki dipertemukan serta ayahanda dan saksi-saksi. Saya duduk di samping ayah dan calon mempelai laki-laki duduk berhadapan dengan ayah. Selama penghulu memberikan sedikit ceramah, saya melihat raut muka ayah tampak tenang. Saya tenang karena sepertinya ayah dan calon suami saya sudah siap mengucapkan Ijab Qobul.

Ayah mulai menjabat tangan calon suami saya dan siap untuk mengucapkan ijab. Jantung saya berdetak sangat kencang dan tidak beraturan saat ayah dan calon suami saya mengucapkan ijab qobul. Ucapan pertama ijab qobul selesai, namun belum sah karena ayah lupa tidak menyebut nama saya. Lalu ayah mencoba tenang dan mengucapkan ijab untuk kedua kalinya. Daaaaan, penghulu masih meminta ayah untuk mengulanginya. Masih dengan kesalahan yang sama yaitu ayah tidak mengucapkan nama saya. Seakan-akan saya merasa ayah seperti belum bisa ikhlas melepas putrinya ini. Selama dua kali pengulangan ini, calon suami saya ternyata lebih siap dan tidak mengulangi kesalahan pengucapan. Lalu, ayah mengucapkan ijab untuk ketiga kalinya. Dan Alhamdulillah akhirnya SAH.



Saat sudah diputuskan sah, saya bertanya kepada ayah mengapa sampai bisa salah dan jawabannya hanya satu kalimat yaitu “sedih mau kehilangan kamu”. Begitu kata ayah saya dan saat itu saya menahan air mata agar tidak membasahi pipi yang sudah di make up. Yaaa, saya bahagia dan sedih saat itu. Selama pernikahan juga terlihat raut wajah ayah agak sedih. Tak sampai di situ, malamnya ternyata tante saya menanyakan kepada ayah kenapa bisa sampai mengulang.  Tante berkata bahwa ayah benar-benar sangat sedih kehilangan saya dan  belum bisa ikhlas sepenuhnya untuk melepas putri tersayang untuk dibawa jauh dari beliau. Karena saya adalah anak yang diharapkan mampu menjaga dan merawat orangtua di hari tua beliau nanti.



Namun, bagaimana pun putrimu ini akan tetap menjadi anakmu.. Dan ayah tetap memilik tempat tersendiri di hati ini. Putrimu tidak akan lupa bagaimana perjuanganmu dalam mencari nafkah untuk keluarga. Sampai kapan pun, putrimu ini tetap sayang dan cinta ayah dan mama. Semoga kami bisa menjadi orangtua seperti beliau.



Salam sayang dan rindu dari putrimu di pulau seberang...